Inspiratif! Orasi Menteri Agama RI: Bukti Masyarakat Mandar Bersahabat dengan Alam
Majene– Menteri Agama RI, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar menyebut Geointelektual Mandar yang bersahabat dengan alam saat memberi orasi di kegiatan Studium Generale di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Majene, Sabtu (30/11/2024).
Studium Generale tersebut adalah bagian dari rangkaian agenda Menteri Agama yang didampingi Pj Bupati Mamasa di dua Kabupaten (Kabupaten Polewali Mandar dan Majene) Provinsi Sulawesi Barat. Dari Haul Anregurutta Abdurrahman Ambo Dalle, menutup kegiatan pelatihan juru sembelih halal hingga kunjungan ke Ponpes As’adiyah Wonomulyo.
Prof. Nasaruddin Umar menyampaikan bahwa Allah menciptakan bumi beserta para penghuni dan geointelektualnya. Setiap daratan, bukan hanya geografis dan topografi berbeda. Namun juga peradaban intelektualnya juga berbeda.
“Masyriq wal Maghrib, Timur dan Barat punya kekhususan. Barat melahirkan tokoh-tokoh Filsuf, karena geointelektualnya mengandalkan otak kiri. Sementara di Timur cenderung menggunakan otak kanan,” kata Nasaruddin Umar.
Di depan Ratusan peserta, Menteri Agama memaparkan perbedaaan antara fungsi otak kanan dan kiri. Menurutnya, otak kanan lebih banyak digunakan untuk memainkan rasa. Sementara otak kiri memainkan rasio. Kualifikasi manusia lahir didikte oleh rasio dan rasa.
“Timur lebih banyak bersahabat dengan alam. Alam berpartisipasi dengan manusia. Sementara di Barat, alam hanya menjadi objek belaka. Barat membantah tempat angker dengan rasionalitas. Akibatnya tidak bersahabat dengan alam, bahkan eksploitasi alam. Inilah yang dilakukan oleh manusia modern,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Prof. Nasaruddin mengimbau mahasiswa mesti mampu menyelaraskan antara rasa dan rasio. Perilaku Agama para leluhur kita di Mandar menggunakan rasa, mereka bersahabat dengan alam bahkan berkomunikasi dengan alam. Mereka hidup dengan stabil tidak butuh peralatan modern. Terkadang pendekatan ilmiah dikibuli oleh alam. Mencoba menyingkap alam, namun alam tidak membuka sebagaimana dirinya.
“Coba baca Disertasi Prof. Baharuddin Lopa, dijelaskan bahwa nelayan Mandar sebelum melaut, mereka mencelupkan kakinya ke dalam laut sampai di lutut. Mereka membaca alam dan saling berinteraksi. Ada waktu kapan akan berangkat, ada waktu untuk tidak melaut,” masih Menteri Agama.
“Masyarakat Mandar tidak butuh teknologi tinggi untuk berinteraksi dengan alam. Justru alam itu yang membuka dirinya kepada mereka. Pemberian makan dengan laut bukan untuk menyembah laut, tetapi mengadakan acara persahabatan dengan laut,” tegas Prof. Nasaruddin.
Di tempat yang sama, Pj Bupati Mamasa, Dr. Muhammad Zain juga menyampaikan bahwa Prof. Nasaruddin Umar menginginkan STAIN Majene menjadi lembaga pendidikan Islam, tempat bersemainya antara rasa dan rasio.
” Beliau meminta agar ilmu hudhuri tidak hilang dari kurikulum pendidikan Islam di Indonesia. Rasio salah satu metode untuk mendapatkan kebenaran namun memiliki keterbatasan, sedangkan rasa (dzauq) punya keistimewaan unlimited,” ucap Zain saat diwawancara setelah Studium Generale.
Selanjutnya, dia memaparkan bahwa Ilmu laduni, ibarat menimbah air dari samudera yang sangat luas. Sementara orang yang mengandalkan rasio, ibarat mengambil air dari Cawang. Orang yang memiliki kemampuan menyeimbangkan antara rasa dan rasio akan memiliki keunggulan kompetitif.
“Tentang masyarakat Mandar, mereka punya kearifan lokal membaca jenis dan gerak-gerik air laut. Mereka bisa menentukan ada karang, ombak besar bahkan ancaman-ancaman lain. Navigasi orang mandar cukup membaca gerak-gerik dan warna-warni air laut,” cerita Zain saat berdialog dengan Jenderal Salim S. Mengga.
Dia juga belajar dari ayahnya yang juga seorang pelaut hingga ke seberang pulau, mengantar barang menggunakan kapal kecil yang dikenal dengan nama Sandeq. Dari situ Zain memahami betul bahwa pelaut-pelaut Mandar bersahabat dengan alam bahkan menjadikan alam sebagai navigator dalam mengarungi samudera luas.